Bah, udah gik cerita pasal raya. Aku nak cerita pasal gempa bumi, pasal tsunami, pasal kampong ditenggelam tanah. Tauk sik kitak orang cerita tok? Aku bok tauk arimarek.
Innalillahiwa inna ilaihi rojiun...
Artikel tok aku copy dari KOMPAS.
"Jika memang jenazah istri dan anak-anak saya tak mungkin ditemukan lagi... biarlah reruntuhan tanah ini menjadi kuburan mereka. Biarlah Allah yang mengatur di mana tempat yang pantas untuk mereka,” ujar Azuardi lirih.
Bibirnya bergetar. Matanya berkaca-kaca melihat hampir tak satu pun rumah yang tersisa di tempat ia tinggal, Korong Lubuk Laweh, Nagari Tandikat, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Semua rumah di Lubuk Laweh tertimbun tanah.
Lubuk Laweh dan dua korong atau dusun lain yang berdekatan, Pulau Air dan Cumanak, kini tak berbekas. Rumah dan penghuninya tak lagi tampak karena tertimbun tanah sedalam 6-10 meter.
Ketiga korong ini telah menjadi kuburan massal bagi sedikitnya 242 orang. Lubuk Laweh menjadi kuburan massal terbanyak karena diperkirakan ada 130 orang yang masih tertimbun, sementara di Cumanak ada 69 orang tertimbun. Jumlah mereka yang tertimbun longsoran di Pulau Air lebih sedikit dibanding kedua korong lainnya, yakni 43 orang. Di beberapa titik tercium bau menyengat hidung, terutama jika masih ditemukan bagian tubuh manusia tertimbun tanah.
Novaldi (29), warga Lubuk Laweh yang menjadi saksi mata terjadinya gempa dan longsor di dusunnya, menuturkan, pasti banyak mayat yang tertimbun di bawah longsoran tanah. ”Di sini,” ujarnya sembari menunjuk batang pohon kelapa yang melintang dengan pokok durian, ”Tadinya adalah kedai, tempat warga biasa ngopi dan berkumpul menonton televisi setiap sore. Sekarang tak ada lagi yang tersisa dari kedai ini. Semua telah tertimbun tanah.”
Tak jauh dari bekas tapak kedai yang ditunjuk, Novaldi menunjuk batang kelapa sepanjang sekitar 10 meter yang melintang di atas tanah. ”Di sini saya sempat menyelamatkan tetangga saya, Eri. Seluruh tubuh Eri tertimbun tanah. Hanya kepalanya yang tampak, tetapi terjepit batang kelapa. Saya tak kuat mengangkat batang kelapa yang menjepit kepalanya. Terpaksa Eri saya tinggalkan,” ujarnya.
Keesokan harinya Eri bisa dievakuasi tim relawan, tetapi meninggal dunia di RSU Padang Pariaman. Novaldi sendiri kehilangan ibu kandung, Lela (40), dua adik kandung, Yuli (25) dan Inel (22), serta keponakan Novaldi yang juga anak Yuli, Arul serta Ilham. ”Rasanya tak mungkin lagi saya menemukan jasad mereka.”
Sejauh ingatan Novaldi dan Azuardi, Lubuk Laweh, Pulau Air, dan Cumanak sebelum gempa adalah tempat yang baik jika kita ingin melihat panorama pedesaan lengkap dengan lansekap sawah dan perbukitannya. Ketiga korong ini berada di lembah Gunung Tigo.
Antara Korong Cumanak dan Lubuk Laweh dan Pulau Air terpisah oleh sungai atau Batang Mangua. Lubuk Laweh dan Pulau Air terhampar di bawah sebuah tebing yang penuh dengan berbagai jenis pohon, mulai dari kelapa hingga durian. Cumanak berada persis di kaki bukit, lazim dinamai Gunung Tigo.
Dari Padang, jarak tempuh menuju Lubuk Laweh, Pulau Air, dan Cumanak sebenarnya bisa ditempuh paling lama dua jam. Jalan menuju ketiga korong ini juga relatif mudah karena sudah dilapisi aspal hotmix.
Terdapat sedikitnya 40 rumah di Korong Lubuk Laweh dan 50 rumah di Cumanak. Di Pulau Air jauh lebih sedikit, yakni sembilan rumah dan satu bangunan SD inpres. Gempa bumi 7,6 skala Richter yang mengguncang Sumbar, Rabu lalu, mengakibatkan Gunung Tigo dan tebing di atas Lubuk Laweh dan Pulau Air melongsorkan ribuan kubik tanah, mengubur semua rumah di ketiga korong.
Di saat seluruh perhatian dan upaya pertolongan terhadap gempa Sumbar tercurah ke Padang, Azuardi dan warga ketiga korong yang selamat hanya merasa getir. Hingga hari ketiga setelah gempa, evakuasi tak kunjung dilakukan.
”Saudara-saudara yang telah datang dari rantau sudah sepakat, jika sampai Sabtu sore abang, kakak ipar, dan keponakan kami tak juga ditemukan, kami akan menggelar shalat jenazah secara sir (tanpa mayat) di tapak bekas rumah kami,” ujar Agus Salim, warga Korong Pulau Air.
Tak bisa cepat
Evakuasi korban gempa di pedalaman Kabupaten Padang Pariaman ini tak bisa secepat yang dilakukan terhadap korban gempa di Padang. Sehari setelah gempa, relawan yang datang ke lembah ini malam harinya hanya 10 orang dari tim Search and Rescue (SAR) Pekanbaru. ”Tak ada yang membawa peralatan apalagi alat berat untuk menemukan korban. SAR dari Pekanbaru hanya membawa kantong mayat,” ujar Azuardi.
Baru hari Jumat datang bantuan dari Brimob Polda Sumsel serta tim SAR Kabupaten Padang Panjang. Malam harinya datang satu ekskavator dari Batalyon Zeni Tempur 2/Prada Sakti Payakumbuh. Ekskavator baru bisa bekerja Sabtu pagi.
Praktis sejak gempa terjadi, evakuasi baru dilakukan Sabtu, dengan alat berat dan relawan cukup banyak. Padahal, yang tertimbun sekitar 242 orang.
Ini belum termasuk mereka yang tertimbun di tiga korong yang berada pada sisi Gunung Tigo lainnya, yakni Korong Gunung, Padang Alai, dan Kayu Angek. Ketiga korong ini masuk dalam Kanagarian Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur. Laporan sementara jumlah yang tertimbun akibat longsoran Gunung Tigo di Korong Gunung, Padang Alai, dan Kayu Angek sebanyak 56 orang.
”Tak mungkin lagi kami bisa mengevakuasi korban yang tertimbun. Mereka paling tidak tertimbun di kedalaman hingga enam meter di bawah permukaan tanah,” kata Topan, Ketua PMI Padang Panjang Barat yang ikut mengoordinasi evakuasi.
Tim relawan memang masih bisa mengevakuasi beberapa jenazah. Termasuk yang hanyut terbawa Sungai Mangua. Peralatan cangkul dan sekop tak memungkinkan relawan mencari lebih banyak jenazah. Akhirnya, tim relawan hanya mengandalkan pencarian dengan mencari sumber bau. Begitu tercium bau sangat menyengat, tanah pun dicangkul, semak dibabat.
Operator ekskavator dari Yonzipur 2/PS, Prajurit Satu S Poernomo, mengaku butuh waktu dua hari untuk membuat jalan agar alat berat bisa sampai ke bekas tapak rumah warga yang tertimbun tanah.
Menurut Yulinar, jumlah warga Cumanak yang tertimbun jauh lebih banyak dari catatan Satkorlak Kabupaten Padang Pariaman. ”Ada 89 orang tertimbun dan baru ditemukan 10 orang. Yang selamat dari Cumanak 70 orang, termasuk kami.” (Khaerudin dan Agus Susanto)
Bila aku nengar pasal tok, ati aku jadi beliang. Isk, lamak2 tok belah Asia Tenggara jak2 kenak bencana alam. Selalu kita nengar dak belah Barat nun ajak nak alah2 kenak hal nak, nek tok macam dah berubah ke tempat kita gik. Start dari Tsunami 2004 riya. Kakya terkejut gik lom lamak tek nengar Samoa ngan Tonga kat Filipina gik kenak.
Bumi dah tua gilak2. Dah sik mampu nak nampong umat manusia yang dah nak tepu dah tok. Kat India, Indonesia dah padat penduduknya. Siney juak? Aku tauk kat siya ajak, nampak gilak sik ngekot berita semasa, kerja nak main game jak2. Ney ndak sik tauk apa2. Tauk hal kampong tenggelam pun dari mak aku, mun sik nang sik taukla. Sampey juak aku tok eh. Tiba masa aku tok mesti poret ngan isu semasa tok. Sikpat gitok ajak.
Aku nak mukak berita harian lok. Lalulahh... sak jak kejap ajak insaf kelak... manusia... manusia.... huh!! Malasku...
Adios....
11.50 am
Aku sambong entri tok ajakla. Aku sikmok naip panjang2, aku just mok share cerita jak, bersambung ngan cerita di atas tek..klik kat link Berita Harian tok.
Aku tengah sedih...so....
Ciao...
No comments:
Post a Comment